WANI – Langit adalah kitab yang terbentang, semua kejadian yang berlangsung di bumi mampu disaksikannya. Menatap Suoh dari sebuah jejak sejarah.
Sama halnya yang terjadi di Suoh, keindahan alamnya yang mempesona ternyata tak kurang dan tak lebih berlangsung karena sebuah peristiwa yang terjadi di masa lalu.
Sebagai manusia modern tentu tak pernah lepas dari sebuah peristiwa yang terjadi di masa silam, karena keberlangsungan manusia itu sendiri juga sebuah proses dari sejarah, dan sejarah tak akan pernah meninggalkan masa lalu.
Sejarah dan manusia tak akan pernah bisa lepas, yang kesemuanya itu saling berkaitan dan berawal dari sebuah jejak sejarah di masa lalu.
Kabupaten Lampung Barat adalah salah satu kabupaten di Provinsi Lampung, Indonesia.
Ibukota kabupaten ini terletak di Liwa. Lampung Barat ini dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1991 tanggal 16 Agustus 1991.
Kabupaten Lampung Barat adalah salah satu pemekaran dari Lampung Utara, yang beribu kota di Liwa. Tentang asal usul nama Liwa, menurut cerita masyarakat, berasal dari kata-kata “meli iwa” (bahasa Lampung), artinya membeli ikan.
Konon dahulunya Liwa merupakan daerah yang subur, persawahan yang luas, sehingga hasil pertaniannya melimpah. Liwa juga nama salah satu marga dari 84 marga di Lampung.
Kabupaten Lampung Barat dikenal dengan julukan Sekala Bekhak, Sekala Bekhak adalah kawasan yang sampai kini dapat disaksikan warisan peradabannya.
Kawasan ini adalah kawasan yang sudah hidup sejak masa prasejarah. Batu-batu menhir mensitus dan tersebar di sejumlah titik di Lampung Barat. Bukti bahwa adanya tanda kehidupan sejarah.
Sebuah batu prasasti di Bunuk Tenuar, Liwa berangka tahun 966 Saka atau tahun 1074 Masehi, menunjukkan ada jejak Hindu di kawasan tersebut. Bahkan di tengah rimba ditemukan bekas parit dan jalan Zaman Hindu.
Adapun daerah yang dikenal sekarang sebagai Ibu Kota Kecamatan Belunguh, adalah bekas kerajaan bernama “Kendali” dengan “Raja Sapalananlinda” sebagaimana disebut dalam “Kitab Tiongkok Kuno.”
Kata “Sapalananlinda” oleh L. C. Westenenk ditafsir sebagai berasal dari kata “Sribaginda” dalam pengucapan dan telinga orang Cina. Jadi bukanlah nama seseorang melainkan gelar penyebutan.
Dalam buku itu konon juga menyebut, bahwa Kendali itu berada di antara Jawa dan Siam-Kamboja. Kitab itu, menyebut angka tahun antara 454–464 Masehi. Kitab ini telah disalin ke dalam bahasa Inggris oleh Groenevelt.
Di wilayah Sekala Bekhak ini pula pernah berdiri sebuah kerajaan. Ada yang menyebut kerajaan tersebut adalah Kerajaan Tulangbawang, namun bukti-bukti keberadaannya sulit ditemukan.
Sedang keyakinan yang terus hidup dan dipertahankan masyarakat khususnya di Lampung Barat serta keturunan mereka yang tersebar hingga seluruh wilayah Sumatera Selatan, menyebutkan Kerajaan Sekala Bekhak.
Pendapat ini juga disokong oleh keberadaan para raja yang bergelar Sai Batin, hingga bukti-bukti bangunan dan alat-alat kebesaran kerajaan, upacara, dan seni tradisi yang masih terjaga.
Dalam peta Provinsi Lampung saat ini, kisaran lokasi pusat Sekala Bekhak berada di hampir seluruh wilayah Kabupaten Lampung Barat, sebagian Kecamatan Banding Agung Kabupaten Ogan Komering Ulu, Provinsi Sumatera Selatan.
“Pusat kerajaan” meliputi daerah pegunungan di lereng Gunung Pesagi di daerah Liwa, seputar Kecamatan Batu Brak, Kecamatan Sukau, Kecamatan Belalau, dan Kecamatan Balik Bukit.
Sebagai kesatuan politik Kerajaan Sekala Bekhak telah berakhir.
Tetapi, sebagai kesatuan budaya (cultural based) keberadaannya turun-temurun diwarisi melalui sejarah panjang yang menggurat kuat dan terbaca makna-maknanya hingga saat ini.
Sekala Bekhak dalam gelaran peta Tanah Lampung terlihat bahwa sebaran pengaruh kebudayaannya sampai saat ini masih terlihat.Tata kehidupan berbasis adat tradisi Sekala Bekhak juga masih dipertahankan dan dikembangkan.
Terutama, Sekala Bekhak setelah dalam pengaruh “Empat Umpu” penyebar agama Islam dan lahirnya masyarakat adat Sai Batin. Adat dan tradisi terus diacu dalam tata hidup keseharian masyarakat pendukungnya dan dapat menjadi salah satu sumber inspirasi dan motivasi pengembangan nilai budaya bangsa.
Hasil pembacaan atas segala yang ada dalam masyarakat berkebudayaan Sai Batin di Lampung, memperlihatkan kedudukan dan posisi penting Sekala Bekhak sebagai satuan peradaban yang lengkap dan terwariskan.
Keberadaan Sekala Bekhak tampak sangat benderang dalam peta kebudayaan Sai Batin, sebagai satu tiang sangga utama pembangun masyarakat Lampung.
Bahkan, telah diakui, Sekala Bekhak sebagai cikal bakal atau asal muasal tertua leluhur “Suku Lampung”. Bahkan keberadaan Sekala Bekhak, berada dalam kisaran waktu strategis perubahan peradaban besar di Nusantara, dari Hindu ke Islam.
Pada abad ke-15 kedatangan empat kelompok masyarakat yang menduduki sekitar Danau Ranau. Di sebelah barat danau dihuni oleh orang-orang yang datang dari Pagaruyung Sumatera Barat dipimpin Dipati Alam Padang.
Sementara itu, tiga kelompok lainnya berasal dari Sekala Bekhak. Tiga kelompok orang-orang Sekala Bekhak tersebut dipimpin Raja Singa Jukhu (dari Kepaksian Bejalan Diway), menempati sisi timur danau.
Di sisi timur danau pula, kelompok yang dipimpin Pangeran Liang Batu dan Pahlawan Sawangan (berasal dari Kepaksian Nyekhupa) bertempat.
Sementara kelompok yang dipimpin Umpu Sijadi Helau menempati sisi utara danau. Empu Sijadi Helau yang disebut-sebut itu bukan Umpu Jadi putra Ratu Buay Pernong, yang menjadi pewaris tahta Buay Pernong.
Kemungkinan besar Umpu Sijadi di daerah Ranau tersebut adalah keturunan Kepaksian Pernong yang meninggalkan Kepaksian dan mendirikan negeri baru di Tenumbang kemudian menjadi Marga Tenumbang.
Ketiga kelompok dari Sekala Bekhak ini kemudian berbaur dan menempati kawasan Banding Agung, Pematang Ribu, dan Warkuk. Sampai sekarang banyak masyarakat Banding Agung mengaku keturunan Paksi Sekala Bekhak.
Di samping itu, ada kisah-kisah perpindahan orang Sekala Bekhak, yang dipimpin Pangeran Tongkok Podang, Puyan Rakian, Puyang Nayan Sakti, Puyang Naga Berisang, Ratu Pikulun Siba, Adipati Raja Ngandum, dan sebagainya.
Bahkan, daerah Cikoneng di Banten ada daerah yang diberikan kepada Umpu Junjungan Sakti dari Kepaksian Belunguh atas jasa-jasanya, dan banyak orang Sekala Bekhak yang migrasi ke sana atau sebaliknya.
Kisah-kisah ini memperkuat suatu kenyataan bahwa Sekala Bekhak tidak hanya sebagai sumber muasal secara geografis, melainkan juga sumber kultur masyarakat. Sekala Bekhak adalah hulu suatu kebudayaan masyarakat.
Dari Sekala Bekhak ini juga lahir huruf Lampung yaitu Kaganga. Bagi sebuah kebudayaan, memiliki bahasa dan aksara sendiri merupakan bukti kebesaran masa lalu kebudayaan tersebut.
Di Indonesia hanya sedikit kebudayaan yang memiliki aksara sendiri, yaitu Batak, Lampung (Sumatera Selatan), Jawa, Sunda, Bali, dan Bugis. Dan kebudayaan yang memiliki aksara sendiri dapat dikategorikan sebagai kebudayaan unggul.
Karena bahasa merupakan alat komunikasi sekaligus simbol kemajuan peradaban. Semua aksara Nusantara tersebut berasal dari bahasa Palava, yang berinduk pada bahasa Brahmi di India. Bahasa Palava digunakan di India dan Asia Tenggara.
Di Nusantara, bahasa ini mengalami penyebaran dan pengembangan, bermula dari bahasa Kawi, sebagai induk Bahasa Nusantara.
Dari bahasa Kawi menjadi bahasa: Jawa (Hanacaraka), Bali, Surat Batak, Lampung atau Sumatera Selatan (Kaganga), dan Bugis. Dari Kerajaan Sekala Bekhak yang telah memiliki unsur-unsur “kebudayaan lengkap” ini pulalah “ideologi” Sai Batin dilahirkan dan disebarluaskan.
Sampai saat ini, masih banyak yang bisa dibaca dari jejak-jejak yang tertinggal. Baik dari jejak fisik maupun jejak yang tidak kasat mata. Dari legenda, seni budaya, adat tata cara, bahasa lisan tulisan, artefak benda peninggalan, hingga falsafah hidup masih ada runut rujukannya.
Dari Sekala Bekhak tersebut di kemudian hari pengaruh budaya dan peradabannya berkembang dan berpengaruh luas ke seluruh Lampung bahkan sampai ke Komering di Sumatera Selatan.
Selain Sekala Bekhak juga ada tinggalan arkeologis berupa tradisi megalitik berupa batu datar, batu bergores dan tiga toponim permukiman kuno lainnya masih ditemukan hingga Bandar Negeri Suoh dan Suoh, yaitu wilayah perbatasan antara Lampung Barat dan Tanggamus.
Kehadiran permukiman kuno di Liwa tersebut membuka pengetahuan bahwa tinggalan arkeologis dan deposit komoditas keramik asing telah tembus hingga ke pedalaman. Namun, dari mana jalur tempuhnya masih belum diketahui.
Selain eksplorasi di wilayah ini masih minim, secara topografi wilayah Liwa terhalang bukit barisan yang memanjang di jalur pesisir barat hingga selatan Tanggamus.
Meskipun telah ditemukan prasasti dari abad ke-10 M, literatur kesejarahan di wilayah barat ini seringkali terlewat. Keterangan dari arsip kolonial pun lebih sering menggambarkan Tulangbawang sebagai Lampung seluruhnya (Amran 2014), padahal tidak.
Minimnya data kesejarahan di wilayah barat dibandingkan dengan wilayah timur Tulangbawang dan sekitarnya merupakan permasalahan yang unik karena jalur barat merupakan wilayah awal yang dilalui jalur laut dan di wilayah ini juga terdapat teluk.
Antara Liwa dan Tanggamus terdapat gap tinggalan arkeologis, terutama sebaran keramik kuno yang sangat signifikan mulai dari cekungan Suoh. Jika dikaitkan dengan tinggalan tradisi megalitik yang sebelumnya ditemukan di Suoh, kawasan Teluk Tanggamus dan sekitarnya hingga area survei di Ulu Belu merupakan wilayah minim tinggalan arkeologis, terutama dari periode klasik hingga awal Islam.
Ulu Belu sendiri yang terkenal dengan prasasti Ulu Belunya (14 M) yang berisi permintaan tolong kepada Dewa Trimurti (Utomo, 2007)
Keberadaan kelompok permukiman di Liwa, Suoh, dan Tanggamus memiliki dinamikanya masing-masing yang kontekstual, kasuistik, dan tidak linier meskipun berada pada satu jalur sungai utama yang sama, yaitu Way Semangka.
Permukiman ini mengikuti pola struktur sungai dendritik dimana telah terjadi pertukaran antara hulu dan hilir. Permukiman paling tua berlokasi di hilir dan sekaligus memegang kontrol jalur perdagangan dan distribusi barang ke permukiman-permukiman lainnya hingga ke bagian hulu.
Berdasarkan kondisi geologisnya, gap tinggalan arkeologi yang terjadi antara wilayah hulu dan hilir, yang diindikasi mulai terjadi sejak di wilayah tengah, yaitu di wilayah Suoh, sangat mungkin berkaitan dengan peristiwa kebencanaan yang berdampak pada terganggunya deposit arkeologi di wilayah tersebut.
Situs Negeri Ratu di Suoh dan juga tiga situs toponim lainnya yaitu Tambelang, Mulang Maya dan Tandjung Jati merupakan lokasi-lokasi permukiman kuno yang ditinggalkan karena banjir.
Inilah yang menjadi penyebab sepinya wilayah barat dari catatan sejarah selain karena faktor kerentanan bencana, dan tampaknya sudah terlihat sejak lama, dicatat pula oleh pendatang asing yang mengaitkannya dengan kondisi alam dan geografisnya yang tidak terlalu mendukung.
Oleh karena itu Pariwisata pada kabupaten Lampung Barat seharusnya tidak hanya berpusat pada pariwisata alam saja yang dikelola tetapi juga wisata budayanya.
Wisata budaya ini dilestarikan agar generasi masa mendatang tidak melupakan sejarah apalagi tidak sampai mengetahui kebudayaan pada masa terdahulunya. Seperti misalnya Sekala Bekhak dan jejak-jejak Pemukiman Kuno yang bisa menjadi daya tarik bagi masyarakat di luar daerah Suoh untuk berkunjung.
Yang juga patut diperhatikan adalah mengenai gambaran umum kondisi wilayah Kabupaten Lampung Barat yang memiliki potensi sumber daya alam darat dan laut sebagai modal dasar pembangunan dalam sektor pertanian, perkebunan, kehutanan dan kelautan, serta pengembangan pariwisata, tetapi juga memiliki keterbatasan, tantangan dan hambatan dalam pembangunan dan pengembangannya seperti misalnya wilayah yang rawan bencana, lahan budidaya yang terbatas, keterisolasian beberapa pekon, pekon tertinggal, dan tingkat mutu sumber daya manusia.
Namun tentu saja hal ini tidak akan menjadi penghalang untuk menjadikan Suoh sebagai kawasan geopark nasional karena disamping daerahnya kaya akan budaya juga karena melimpah pesona alamnya.
BIODATA DIRI
Nama : Hening Nugroho. S.Fil
Tempat, Tgl Lahir : Yogyakarta, 23 Des 1987
Alamat : Suryatmajan DN 1/48, RT 30, RW 10, Kelurahan Suryatmajan, Kecamatan Danurejan, Kota Yogyakarta 55213