WANI – Saat gempa bumi melanda Kabupaten Lampung Barat (Lambar) pada 15 Februari 1994, sejak itu nama Suoh mulai terkenal. Letak Suoh yang secara geografis berada cukup jauh dari Liwa, ibu kota Lampung Barat, tersiar kabar di sana banyak korban yang meninggal akibat gempa.
Waktu itu Panglima Kodam II/ Sriwijaya Mayjen TNI Syamsir Siregar langsung memutuskan terbang menuju Suoh dengan helikopter untuk memastikan kebenaran kabar tersebut. Wartawan pun terpacu untuk bisa menjangkau Suoh dengan perjalanan melalui medan yang berat. Walau pun sulit, beberapa wartawan yang gigih berhasil menjangkau daerah pernah dilanda gempa dan letusan freatik tahun 1933.
Gempa Suoh yang terjadi tahun 1933 waktu itu tak berkesudahan, Gunung Ratu di tengah lembah menyemburkan aroma belerang disertai kepulan asap kelabu tebal dan air panas. Waktu itu warga Suoh mengungsi meninggalkan kampung mereka. Gempa tersebut menarik perhatian geolog Belanda Ch E Stehn yang ditugaskan Pemerintah Hindia Belanda untuk meneliti bencana alam tersebut. Stehn datang ke Suoh pada pertengahan Juli hingga awal Agustus 1933.
Baca Juga : Dukung Suoh Menjadi Kawasan Geopark Nasional
Dalam laporannya Stehn menyebutkan, sekitar 13 jam setelah gempa, tanah-tanah di Suoh yang rekah mulai melontarkan air panas. Fenomena geologi ini dikenal sebagai letusan freatik (phreatic eruption), yaitu letusan yang dipicu masuknya air ke kantong magma. Persentuhan air dan magma memicu munculnya uap panas yang segera menjebol sumbat, melontarkan debu, bebatuan, hingga air panas.
Letusan freatik tersebut membentuk dua kawah, yang masing-masing sisi terpanjangnya 1 kilometer dan 2 kilometer. Gejolak tektonik diikuti letusan vulkanik di Suoh itu masih bisa dilihat jejaknya dalam bentuk lima danau yang mengeluarkan air panas yaitu, Danau Asam, Lebar, Minyak, Berikan, dan Selibis.
Jadi sejak 1993 sudah ada orang asing, seorang Belanda datang ke Suoh yang waktu itu menjadi daerah yang tidak dikenal di negeri jajahan Hindia Belanda. Namun sejak kedatangan Ch E Stehn, Suoh mulai dikenal dan semakin dikenal luas di Indonesia setelah pemberitaan tentang gempa Liwa tahun 1994 dengan kekuatan 7 skala richter. Wartawan datang tidak hanya menulis tentang bencana dan duka yang menewaskan lebih 200 warga Lampung Barat dan 4.000 warga menderita luka-luka, melainkan juga mengabarkan melalui gambar atau foto tentang keindahan alam Suoh.
Suoh yang dulu terpencil yang dikenal dari cerita dan catatan literatur ilmuwan Belanda, kini berkembang menjadi dua kecamatan, Kecamatan Suoh dan Kecamatan Bandar Negeri Suoh. Pemerintah Kabupaten Lampung Barat kini merencanakan kawasan Suoh menjadi kawasan geopark nasional.
Sebenarnya di Lampung Barat bukan hanya patut mewujudkan Geopark Souh tapi di perlu ada pusat informasi kebumian. Dulu saat penanganan pasca gempa 1994, Siti Nurbaya yang kini menjabat Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), waktu masih bertugas di Bappeda Provinsi Lampung pernah mengusulkan pendiriaan pusat informasi kebumian di Liwa.
Kini rencana Pemerintah Kabupaten Lampung Barat merealisasikan Geopark Suoh patut mendapat dukungan karena sejalan dengan program geopark yang mulai dicanangkan UNESCO sejak tahun 1999. Inisiatif UNESCO sebagai organisasi dunia yang sangat mendukung pengembangan geopark kini menjadi perhatian banyak negara untuk mulai memperhatikan situs-situs warisan alam atau warisan geologi di negaranya.
Perkembangan kepedulian pada geopark berawal dari terbentuknya suatu organisasi non-pemerintahan yang bertujuan melindungi warisan geologi di negara-negara Eropa bernama European Geopark Network (EGN) pada tahun 2001. Selanjutnya UNESCO memfasilitasi dan membentuk organisasi yang mampu menampung lebih banyak lagi negara-negara anggota sehingga terbentuklah Global Geopark Network (GGN) pada tahun 2004.
Mengutip dari GGN, tujuan geopark adalah menggali, mengembangkan, menghargai, dan mengambil manfaat dari hubungan erat antara warisan geologi dan segi lainnya dari warisan alam, berupa budaya, dan nilai-nilai di area tersebut.
Program geopark juga mendorong kesadaran masyarakat atas isu-isu yang berkaitan dengan dinamika kebumian dan lingkungan di sekitar mereka. Melalui geopark diharapkan masyarakat lebih menghargai warisan yang ada dan memiliki kesadaran untuk menjaga warisan tersebut.
Geopark kini dan ke depan menjadi salah satu formula ideal pembangunan berkelanjutan dalam industri pariwisata. Konsep greentourism dan ecotourism adalah yang dibutuhkan Indonesia di masa depan.
Apa itu Geopark?
Istilah “geopark” di tengah masyarakat umum mungkin belum populer. Dari segi terminologi geopark merupakan akronim dari kata dalam Bahasa Inggris “Geological Park” atau dalam Bahasa Indonesia berarti taman bumi.
Geopark berarti taman bumi yang termasuk dalam kawasan konservasi, yang memiliki unsur geodiversity (keragaman geologi), biodiversity (keragaman hayati, dan cultural diversity (keragaman budaya) dengan tujuan untuk pembangunan serta pengembangan ekonomi kerakyatan yang berbasis pada asas perlindungan (konservasi) terhadap ketiga keragaman tersebut.
UNESCO menyebutkan bahwa geopark adalah sebuah konsep manajemen kawasan yang sudah ditetapkan dengan batas yang jelas dan memiliki kawasan permukaan luas untuk pembangunan ekonomi lokal.
Geopark adalah sebuah konsep manajemen pengembangan kawasan berkelanjutan yang menyerasikan keragaman geologi, hayati dan budaya
melalui prinsip konservasi dan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang sudah ada. Geopark merupakan wilayah geografis yang memiliki situs warisan geologi terkemuka dan bagian dari konsep holistik perlindungan, pendidikan dan pembangunan yang berkelanjutan.
Mengutip Hanang Samodra Ketua Kelompok Kerja Geopark, Tim TaskForce Revitalisi Museum Geologi dan Pengembangan Geopark, Kementerian ESDM, “Geopark (taman bumi) sebagai konsep baru yang menjadi salah satu peranti untuk membangun kawasan secara berkelanjutan mulai diterima dan diimplementasikan.”
Jika paradigma sebelumnya masih mengelompokkan komponen abiotik, biotik, dan budaya secara sendiri-sendiri, paradigma baru Geopark adalah sebaliknya. Konsep geopark mengenali, menghubung-kaitkan, merayakan, dan mengimplementasikan keragaman sumber daya warisan bumi di suatu daerah secara utuh dan terpadu. Slogan geopark sendiri adalah “memuliakan warisan bumi dan menyejahterakan masyarakat setempat.”
Suatu wilayah geopark di dalamnya memiliki aspek dalam bidang pendidikan sebagai pengetahuan di bidang ilmu kebumian pada keunikan dan keragaman warisan bumi dan aspek ekonomi dari peran masyarakat dalam pengelolaan kawasan sebagai geowisata. Aktivitas pariwisata dalam kegiatan geowisata di suatu geopark yang dijalankan oleh masyarakat menjadi komponen penting dalam keberhasilan pengelolaan geopark.
Kunci keberhasilan pengembangan dan pengelolaan geopark ada pada peran dan partisipasi masyarakat lokal yang aktif dan paham akan pengertian geopark itu sendiri.
Mengapa masyarakat lokal harus menjadi perhatian dalam pengembangan geopark menjadi kawasan geowisata? Joseph E Mbaiwa dan Amanda L Stronza dalam “The Challenges And Prospects For Sustainable Tourism And Ecotourism In Developing Countries (2009) menjawabnya, bahwa masyarakat setempat (lokal) secara historis hidup berdampingan dengan sebuah atraksi wisata utama. Oleh karena itu, keterlibatan masyarakat lokal dalam pengembangan pariwisata tidak dapat diabaikan karena peran penting masyarakat.
Keterlibatan masyarakat lokal dalam pengembangan pariwisata sangat penting dalam menjembatani kesenjangan antara pemerintah dan penggunaan sumber daya di daerah tujuan wisata.
Untuk merealisasikan Geopark Suoh, ada persyaratan yang harus dipenuhi, diantaranya memiliki batas-batas yang ditetapkan dengan jelas dan memiliki kawasan yang cukup luas untuk pembangunan ekonomi lokal. Di dalam Geopark tersebut harus berlangsung sedikitnya tiga kegiatan penting, yaitu: konservasi, pendidikan dan geowisata. Geopark Suoh harus ditargetkan untuk dikelola masyarakat setempat dengan berbasis pemberdayaan masyarakat.
Jika Geopark Suoh dikembangkan menjadi salah satu destinasi wisata di Lampung Barat maka strategi pengembangan harus disesuaikan dengan kondisi alamnya. Dalam strategi pengembangan juga harus berbasis partisipasi masyarakat atau pengelolaan ekowisata berbasis masyarakat (community based tourism)/ CBT yang di dalamnya tercakup lima aspek, yaitu aspek ekonomi, aspek sosial, aspek adat budaya, aspek lingkungan dan aspek politik. Pengelolaan ekowisata berbasis masyarakat dapat menjamin kesinambungan dan kesejahteraan masyarakat lokal. Kuncinya adalah kesadaran dan partisipasi masyarakat lokal terhadap pentingnya konservasi dan pemeliharan kawasan geopark.
Baca Juga : Sensasi Air Terjun Semantung Lampung Barat
Majalah Gatra dalam edisi khusus No 22 Tahun XXII, 31 Maret 2016 tentang Geopark menulis bahwa geopark sebagai destinasi wisata bisa memberi sumbangan signifikan bagi produk domestik bruto (PDB). Seperti Geopark Langkawi, Malaysia dan Geopark Yuntaishan, Cina .
Geopark Yuntaishan adalah contoh fenomenal dari pengembangan geopark menjadi geowisata yang mampu menarik kunjungan wisatawan dari mancanegara. Pada tahun 1999 Jiaozuo City di Provinsi Henan adalah kota yang miskin dan tercemar dengan GDP turun sampai 16 persen, kehilangan pendapatan sebesar 24 persen.
Pada 2011 Yuntaishan ditetapkan menjadi geopark, dan mampu meningkatkan pendapatan hingga 50 kali lipat dari US$ 0,6 miliar pada tahun 2001 kemudian pada tahun 2012 meningkat signifikan menjadi US$ 25 miliar. Demikan pula dengan Langkawi yang semula dikenal sebagai Pulau Buangan, tahun 2007 diterima sebagai anggota Global Geopark UNESCO, pada tahun 2015 dikunjungi 3.624.149 wisatawan.
Di Indonesia, Geopark Gunung Sewu bisa menjadi referensi pengembangan Geopark Suoh sebagai geowisata. Geopark Gunung Sewu adalah kawasan taman bumi yang terentang dari dalam tiga provinsi, Yogyakarta, Jawa Tengah dan Jawa Timur, ditetapkan sebagai Geopark Nasional pada 2013. Pada 19 September 2015 Gunung Sewu ditetapkan sebagai geopark berstatus internasional dalam jejaring UNESCO Global Geopark.
Sejak ditetapkan sebagai geopark pada 2013 angka pertumbuhan kunjungan wisatawan ke Gunung Sewu terus mengalami peningkatkan siginifikan. Sebelum berstatus Geopark Nasional, kunjungan wisatawan ke Geopark Gunung Sewu berkisar 2 juta kunjungan. Jumlah itu terus meningkat setiap tahunnya. Sebanyak pada 2013 sebanyak 2.243.023 wisatawan, pada 2014 meningkat menjadi 2.750.907 wisatawan dan tahun 2015 melonjak menjadi 3.934.881 wisatawan.
Untuk menjadi destinasi wisata yang banyak dikunjungi wisatawan maka pengembangan Geopark Suoh harus dilengkapi dengan amenitas (akomodasi, restoran, dan pusat informasi pariwisata), akses (infrastruktur jalan/ transportasi), atraksi (bentang alam, keanekaragaman hayati (biodiversitas), dan budaya), ancillary (pemandu wisata, operator wisata minat khusus), konservasi, dan pemberdayaan masyarakat.
Ayo realisasikan terwujudnya Geopark Suoh dengan memperhatikan pesan Hanang Samodra dalam Kolom berjudul “Bertemu di Taman Bumi” pada Majalah Gatra edisi 22 / XXII, 6 April 2016. “Tanpa dukungan masyarakat, geopark tidak akan tumbuh sehat. Di dalam konsep geopark, masyarakat setempat “dimanusiakan” sebagai agen aktif pembangunan yang dilibatkan dalam setiap perencanaan program, dan pengembangan,” tulisnya.
Identitas Penulis :
Nama : Maspril Aries
Alamat : Jalan Sultan M Mansyur No.120 RT 02 RW 01 Bukit Lama Palembang.
Pendidikan : Lulusan Fisip Unila.
Kini menjadi penggiat literasi pada Kaki Bukit Literasi
Menyatakan MENDUKUNG kawasan Suoh menjadi Geopark Nasional.