Sepotong Surga di Kaki Pesagi

WartaNiaga.ID
Catatan Editor: Sepotong Surga di Kaki Pesagi. Foto DSM

WANI – Bagaimana bisa aku lupa ketika dingin, embun, dan gerimis pagi memanjakan tubuhku yang letih.

Kehangatan kopi kentalmu membangunkan semangat menuju ladang, sawah, dan kebun kehidupan.

Jalan setapak berliku-liku yang basah kehujanan semalam menguatkan langkah kaki petani-petani menyongsong matahari.

Palawija, padi, dan kayu manis adalah anugerah dari kesuburan tanah di balik bukit.berdiri di ketinggian sekara jaya, aku menyaksikan awan-awan tersangkut di bukit bukit.

Kucoba menyibak kabut abadi setia mengawal pesagimu yang menyimpan misteri diwa-diwadan sejarah muasal leluhur. desir angin, gemericik air, dan desau ilalang membisikkan gelora cinta liwa kota berbungake telingaku.

Lembah-ngarai dan telaga ham tebiu semakin mendalamkan makna kehadiranmu dalam setiap denyut zaman.

Udo Z Karzi, Bagaimana Mungkin Aku Lupa, 1999

DEMIKIANLAH, kekayaan dan keindahan alam Kabupaten Lampung Barat telah melahirkan syair, kisah, sejarah berikut tokoh-tokohnya dalam bidang literasi.

Dengan sangat narsisnya saya bilang, Bumi Sekala Brak yang elok rupawan telah mengilhami banyak penulis dalam menggoreskan karya-karya mereka. Tapi, saya tak beromong kosong.

Tak kurang-kurang, keindahan Liwa (Lampung Barat, termasuk Pesisir Barat kini) digambarkan St. Takdir Alisjahbana dengan apik dalam romannya Layar Terkembang (diterbitkan pertama kali oleh Balai Pustaka, 1936) yang tercantum di halaman 54.

Di halaman lain Layar Terkembang ini tertulis: “…telah sering ia memikir apakah sebabnya maka liburan ini lain rasanya dari sediakala. Dan di tengah keindahan alam di perjalanan ke Liwa dan ke Keroi, kegelisahan hatinya itu bertambah, seakan-akan oleh tamasya kepermainan dan kebesaran alam yang dilihatnya …” (Surat Maria kepada Yusuf).[1]

Literatur yang lebih tua tentang Liwa adalah Catatan Perjalanan ke Danau Ranau di Pedalaman Krui yang ditulis J. Pattullo di tahun 1820[2]. Perjalanan rombongan J. Pattulo dimulai dari Kroer (Krui) pada 19 September 1820, menginap di dusun Uluh.

Sehari kemudian bermalam di Weya Assat (Way Asat), lalu berjalan antara lain ke Pulau Pisang, Lumbok, Surabaya di Banding Ranau, Gunung Seminung, Sukau, Lewah (Liwa), dan kembali ke Krui.

Beberapa penyair, di antaranya Iswadi Pratama, Isbedy Stiawan ZS, Fina Sato, Komang Ira Puspita, dan Christian Heru Cahyo Saputro, menulis sajak dengan mengambil setting Liwa (Lampung Barat).

Dari Bumi Beguai Jejama sendiri, ada Sulaiman Rasjid bin Lasa (1898-1976) yang menyusun buku fikih pertama di negeri ini. Fiqih Islam, terbit 1951, karangan pria kelahiran Pekon Tengah, Liwa, tahun 1898, menjadi buku wajib di perguruan tinggi dan menengah di Indonesia serta Malaysia, sampai sekarang.

Ahmad Syafei, kelahiran Kenali dan dijuluki Iwan Nurdaya-Djafar sebagai “Pujangga Lampung Barat”, menuangkan peristiwa gempa besar di Liwa pada 1933 dalam bentuk puisi Lampung wayak bertitel Kukuk Kedok 1933 (Gempa Besar 1933) sepanjang 137 bait yang ditulisnya 32 tahun kemudian.[3]

Selain Sulaiman Rasyid dan Ahmad Syafei, tokoh-tokoh literasi Lampung Barat adalah Rais Latief (1900-1977), M. Arief Mahya (1926), Sazli Rais (1944), Lincolin Arsyad (1958), dan Udo Z. Karzi (1970).[4]

Sajak-sajak Fitri Yani dalam buku puisinya, Suluh[5] (2013) yang meraih Hadiah Sastra Rancage 2014 hampir seluruhnya berbicara tentang kebiasaan dan tradisi yang berkembang dan masih hidup dalam masyarakat Lampung Barat.

Begitu juga, tiga buku berbahasa Lampung yang dibicara sesaat sebelum Pengumuman Pemenang Lomba Menulis Pesona Lampung Barat dalam rangkaian Pekan Literasi Lampung Barat yang diselenggarakan Forum Literasi Lampung Barat di Lamban Kopi, Mutaralam, Kecamatan Way Tenong, Minggu, 4 Januari 2018, adalah buku yang berkisah mengenai Bumi Beguai Jejama.

Buku pertama, novel Usim Kembang di Balik Bukik[6] karya Andy Wasis, meskipun tidak ditulis oleh penulis Lampung Barat, mengambil setting cerita di Liwa (Balik Bukit), Batu Kebayan (Belalau), dan Krui (Pesisir Barat).

Novel ini menggambarkan bagaimana tradisi berkebun kopi yang terpelihara, setekut (cara berpacaran ala ulun Lampung), tatalaku orang Pesisir, dan berbagai kebiasaan masyarakat Lampung Barat.

Buku kedua, buku puisi Semilau[7] karya Muhammad Harya Ramdhoni—memenangkan Hadiah Sastra Rancage 2018–berisi 69 sajak yang hampir seluruhnya berkenaan dengan legenda atau sejarah Kerajaan Sekala Brak (Sekala Baka).

Memang, karya-karya Ramdhoni yang lainnya: Perempuan Penunggang Harimau (novel, 2011), Kitab Hikayat Orang-orang yang Berjalan di Atas Air (kumpulan cerpen, 2012), Mirah Delima Bang Amat (kumpulan cerpen, 2017), dan yang terbaru, Sihir Lelaki Gunung (kumpulan sajak, 2018) banyak menggali sumber inspirasi dari tanah leluhurnya di Lampung Barat.

Akan halnya buku ketiga, novel Negarabatin[8] (2016) yang meraih Hadiah Sastra Rancage 2017, adalah roman biografis yang berlatarkan Liwa (1970—1986) sebelum penulisnya merantau keluar kampung halamannya untuk melanjutkan studi dan mencari penghidupan di kota.

Di luar itu, geliat literasi Lampung Barat semakin terlihat. Misalnya, ada Komunitas Simalaba Lambar yang dalam beberapa tahun terakhir terus menggiatkan literasi dan kini ada Forum Literasi Lampung Barat yang bersinergi dengan Forum Literasi Lampung dan berbagai komunitas lainnya terus memajukan dunia membaca, menulis, serta penyediaan bahan pustaka yang dibutuhkan masyarakat.

Dengan melihat sejarah panjang perikehidupan literasi di tanah kelahiran saya ini, saya bersepakat dengan Bupati Lampung Barat Parosil Mabsus, Wakil Bupati Mad Hasnurin, Ketua DPRD Lampung Barat Edi Novial beserta jajaran Pemerintah Kabupaten Lampung Barat dengan dukungan masyarakat dan semua pihak; untuk merealisasikan Lampung Barat sebagai Kabupaten Literasi. Ini sebuah keniscayaan.

*** Tentang buku yang saya sunting ini, berawal dari Lomba Menulis Pesona Lampung Barat yang diselenggarakan Forum Literasi Lampung Barat (FLLB). Ketua FLLB Donna Sorenty Moza meminta kami, Yusmalasari A Duarsa (Putri Buku Indonesia1996), Vicky Andreas (Ketua PWI Lampung Barat), dan saya untuk menjadi juri lomba.

Dari hasil pembacaan terhadap karya-karya yang masuk berupa opini dan feature, Dewan Juri memutuskan pemenang sebagaimana diumumkan pada kesempatan Pekan Literasi Lampung Barat di Lamban Kopi, Mutaralam, Kecamatan Way Tenong, Minggu, 4 Januari 2018.

Hasilnya, keindahan Danau Ranau dan bentang alam memesona yang dikisahkan Christian Heru Cahyo Saputro dengan tajuk Serpihan Surga di Bumi Beguai Jejama menyisihkan puluhan karya dalam Lomba Menulis Pesona Lampung Barat (Lambar). Dewan juri menetapkan karya Christian Heru ini menjadi pemenang pertama.

Pemenang kedua direbut Mahdalena dengan judul karya Koralaba Menembus Asa. Lalu, Ande Larista Simatupang dengan judul karya The Name is Hamtebiu Not ‘Hantu’biu menjadi juara ketiga. Sedangkan juara harapan 1, 2, dan 3 secara berurut diraih oleh Renzi Saputra dengan karya Nyambai: Seni Pertunjukan Kerakyatan di Bumi Sekala Brak, Asis Budi Santoso dengan Menggagas Konsep Agrowisata Lampung Barat, dan Eni Muslihah dengan karya Senja di Kebun Raya Liwa hingga Nyeruput Kopi Luwak.

Enam karya pemenang dan 20 tulisan terpilih yang kemudian dihimpun dan diterbitkan Forum Literasi Lampung Barat bekerja sama dengan Pustaka LaBRAK dalam buku berjudul Sepotong Surga di Kaki Pesagi ini.

Memang, banyak juga yang luput dari bahasan dalam buku ini. Misalnya, Gunung Pesagi (ada juga yang menyebutnya Bukit Pesagi). Gunung tertinggi di Lampung, yaitu 2.262 m (mdpl) yang sejatinya menjadi salah satu ikon Lampung Barat, masih menyimpan kisah dan misteri.

Liwa sang ibu kota Lampung Barat, yang layaknya menjadi pintu gerbang saat hendak menelusuri sekujur wilayah Bumi Beguai Jejama, juga menyimpan banyak legenda dan kenangan.

Begitu juga beberapa situs dan prasasti peninggalan purbakala, misalnya Prasasti Hujung Langit, Prasasti Tanjung Raya I, Prasasti Tanjung Raya II, situs Batubrak, situs Istana Tapaksiring, dll yang masih perlu diungkap lebih dalam lagi.

Tanpa perlu berpanjang lebar mengenai apa yang disampaikan ke-26 penulis dalam buku ini, pembaca dipersilakan menikmati sajian mereka.

Meskipun tulisan tak bisa menggambarkan seluruh realitas keindahan Bumi Sekala Brak, paling tidak dengan membaca buku ini, bisa memberikan gambaran yang lebih baik tentang pesona “surga” bernama Lampung Barat.

Terima kasih kepada Bupati Lampung Barat Parosil Mabsus, Wakil Bupati Mad Hasnurin, Ketua DPRD Edi Novian, Bunda Literasi Lampung Barat Partinia Parosil, dan semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu per satu yang memungkinkan terbitnya buku ini.

Tabik.

Bandar Lampung, April 2018Udo Z Karzi

[1] Udo Z Karzi, “Jejak Literasi Liwa”, Makalah untuk Apresiasi Sastra dalam Festival Bahasa dan Sastra VII yang diselenggarakan SMAN 1 Liwa, Lampung Barat, 22 November 2013.[

2] Ada di buku Malayan Miscellanies Vol II, terbitan Sumatran Mission Press, Bengkulu, 1822, yang diterjemahkan Yulizar Fadli dan dimuat di Jurnal Kebudayaan Akal Volume 1/Januari 2013 hlm. 28-34.

[3] Iwan Nurdaya-Djafar, “Ahmad Syafei Pujangga Lambar”, Lampung Post, 7 Desember 2013

.[4] Lihat Heri Wardoyo, dkk. 2008. 100 Tokoh Terkemuka Lampung. Bandar Lampung: Lampung Post.

[5] Fitri Yani. 2013. Suluh. Bandar Lampung: Lampung Literature.

[6] Andy Wasis. 2017. Usim Kembang di Balik Bukik. Bandar Lampung: Pustaka LaBRAK.

[7] Muhammad Harya Ramdhoni. 2017. Semilau: Sang Rumpun Sajak 2000-2017. Bandar Lampung: Pustaka LaBRAK.[8] Udo Z Karzi. 2016. Negarabatin. Bandar Lampung: Pustaka LaBRAK dan Aura

Catatan Editor